Powered By Blogger

Kamis, 09 Juni 2011

sistem kekerabatan masyarakat suku bali di kampung bali ,kabupaten langkat

Bila kita mendengar nama pulau dewata bali maka langsung tersirat di pikiran kita daerah yang bersahaja, nyaman, sejuk, indah, dan kita juga langsung berpikir masyarakatnya yang ramah, baik, sopan, santun, dan religius.
             Namun banyak masyarakat di sumatra utara khususnya yang tidak menyadari kalau di sumatra utara sendiri ada sebuah perkampungan yang merupakan tempat tinggal dari orang-orang keturunan bali yang telah lama menetap di sumatra utara, daerah yang tidak beda jauh dengan pulau dewata bali. Di kampung bali kita juga dapat merasakan suasana yang asri, sejuk, nyaman, bersahaja, indah, dan juga masyarakatnya yang ramah, baik. Sopan, santun, dan religius.
            Sama seperti di pulau dewata bali, di kampung bali kita juga dapat melihat pura – pura, dan juga sanggah – sanggah yang memiliki nilai seni yang cukup tinggi di depan rumah – rumah masyarakat suku bali, di pura – pura dan sanggah – sanggah kita dapat melihat ukiran – ukiran dinding yang indah yang merupakan simbol – simbol dari ajaran hindu, bagi masyarakat bali mengukir pura dan sanggah dengan indah menandakan kalau masyarakat bali memiliki karya seni yang tinggi.


Sejarah kampung bali

            Sebelum masyarakat suku bali masuk ke kampung bali, kampung bali merupakan hutan belantara yang lebat, awalnya beberapa masyarakat bali dikontrak  untuk bekerja di PTPN (perkebunan), setelah kontrak mereka habis pihak PTPN memperpanjang kontrak mereka selama 12 tahun namun saat kontrak baru berjalan 10 tahun mereka memutuskan untuk berhenti, setelah memutuskan untuk berhenti mereka ingin kembali ke bali, namun pada saat yang bersamaan pada tahun 1963 pulau bali mengalami bencana alam yang cukup dashyat yaitu meletus nya gunung agung, dan pada saat itu himpunan umat hindu medan melarang mereka untuk kembali ke bali, karna keadaan bali yang sudah tidak kondusif, sempit, maka mereka dicarikan lahan untuk menetap, mereka di berikan lahan seluas 200 hektar di langkat,  pada awal nya ada 6  kk yang melihat tempat yang diberikan untuk mereka tinggal, setelah itu menyusul lagi 5 kk lagi dari bandar pulau, semakin lama makin banyak yang pindah ke langkat, hingga jumlah mereka sampai sekitar 60kk, namun sekarang jumlah masyarakat bali sudah sedikit tidak lagi seperti pertama mereka transmigrasi ke kampung bali, banyak di antara masyarakat bali yang tidak tahan dan tidak betah, dikarnakan akses yg belum ada, serta jauhnya jarak yang harus ditempuh untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Saat ini hanya tertinggal kurang lebih 40 kk yang mash menetap di kampung bali.
            Masyarakat bali di kampung bali sangat religius mereka pemeluk hindu, dikampung bali sendiri terdiri dari 3 agama yaitu Hindu, Kristen, dan islam, karna religius nya mereka maka di perkampungan bali setiap orang sangat menghargai agama orang lain, karna Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah "Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma", yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin, sehingga masyarakat hindu bali di kampung bali sangat cinta damai.


RITUAL PERKAWINAN

Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut "Yatha sakti Kayika Dharma" yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan. Dalam perkawinan ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma.
Pada tahap persiapan, seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat membutuhkan bimbingan, khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses atau memperkecil rintangan-rintangan yang mungkin timbul. Bimbingan tersebut akan amat baik kalau diberikan oleh seorang yang ahli dalam bidang agama Hindu, terutama mengenai tugas dan kewajiban seorang grhastha, untuk bisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan Dharma
Perkawinan pada hakikatnya adalah memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan "Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang" artinya: dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.
Berkait dengan sloka di tas, karma hanya dengan menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara.
Perkawinan umat Hindu merupakan suatu yang suci dan sakral, oleh sebab itu pada jaman Weda, perkawinan ditentukan oleh seorang Resi, yang mampu melihat secara jelas, melebihi penglihatan rohani, pasangan yang akan dikawinkan. Dengan pandangan seorang Resi ahli atau Brahmana Sista, cocok atau tidak cocoknya suatu pasangan pengantin akan dapat dilihat dengan jelas.
Pasangan yang tidak cocok (secara rohani) dianjurkan untuk membatalkan rencana perkawinannya, karena dapat dipastikan akan berakibat fatal bagi kedua mempelai bersangkutan. Setelah jaman Dharma Sastra, pasangan pengantin tidak lagi dipertemukan oleh Resi, namun oleh raja atau orang tua mempelai, dengan mempertimbangkan duniawi, seperti menjaga martabat keluarga, pertimbangan kekayaan, kecantikan, kegantengan dan lain-lain. Saat inilah mulai merosotnya nilai-nilai rohani sebagai dasar pertimbangan.
Di kampung bali, peran orang tua tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra-putranya. Anak-anak muda sekarang ini lebih banyak menentukan jodohnya sendiri. Penentuan jodoh oleh diri sendiri itu amat tergantuang pada kadar kemampuan mereka yang melakukan perkawinan. Tapi nampaknya lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan duniawi, seperti kecantikan fisik, derajat keluarga dan ukuran sosial ekonomi dan bukan derajat rohani.
Banyak pemuda – pemudi kampung bali yang menikah dengan pemuda – pemudi diluar kampung bali, dan banyak diantara mereka yang setelah menikah keluar dari kampung bali untuk mencoba memulai kehidupan baru di daerah baru, karna sifat orang bali suka membuka lahan baru, namun banyak yang diantara mereka setelah keluar dari kampung bali untuk mencari lahan baru , kembali lagi kekampung bali dikarna kan lahan baru yang telah mereka buka di daerah lain tidak mampu mencukupi kebutuhan mereka.
Sebelum melakukan prosesi perkawinan pasangan pengantin harus melalui proses upacara agama yang disebut "Mekala-kalaan" (natab banten), biasanya dipuput oleh seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah (tengah natah) karena merupakan titik sentral kekuatan "Kala Bhucari" sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata "kala" yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam "sebel kandel".
Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai.

Peralatan untuk upacara mekala – kalaan

1.    Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Biyu lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria.
Kulkul berisi berem simbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita. 

2.    Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)
Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.

3.    Tikeh Dadakan (tikar kecil)
Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikeh dadakan adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).

4.    Keris 
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria. 

5.    Benang Putih
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm.
Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut.
Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.

6.    Tegen – tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala
Perangkat tegen-tegenan
 - batang tebu berarti hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis
- Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan Dharma
- Periuk simbol windhu
 - Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi)
 - Seekor yuyu simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.

7.    Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengmbangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.

8.    Dagang-dagangan 
Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.

9.    Sapu lidi (3 lebih)
Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.



10. Sambuk Kupakan (serabut kelapa)
Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian.
Telor bebek simbol manik. Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.

11. Tetimpug
Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.

Setelah acara mekala – kalaan baru selesai baru di lanjutkan dengan acara sebagai berikut :
  • Upacara Ngekeb
Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.

Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.

  • Mungkah Lawang ( Buka Pintu )
Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.

  • Upacara Mesegehagung
Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagungyang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakanyang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng




  • Madengen–dengen
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian

  • Mewidhi Widana
Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan

  • Mejauman Ngabe Tipat Bantal
Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untukupacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali.

            Namun dalam perkawinan yang terjadi di kampung bali telah banyak asimilasi atau percampuran budaya, banyak pemuda-pemudi bali yag kawin dengan suku lain misalnya jawa, dalam ritualnya maka akan dilakukan 2 x ritual yaitu ritual jawa dan ritual bali, namun bagi pemuda yang bukan suku bali menikah dengan wanita bali dan ingin masuk hindu maka dia masukan ke hindu oleh pinandita di pure,
            Dalam pernikahan campuran lelaki hindu bali yang ingin menikahi wanita diluar hindu bali, ia harus tetap beragama hindu karna dari dahulu adat pernikahan hindu bali sudah menerapkan itu, lain halnya dengan wanita hindu bali yang menikahi lelaki diluar hindu bali maka ia di perbolehkan untuk mengikuti agama suaminya.
            Apa bila pasangan mempelai satu aliran dari ayah (patrinial) maka mereka dilarang untuk menikah, namun apabila mereka satu aliran ibu (metrenial) maka di perbolehkan untuk menikah. Dan dalam adat bali pesta perkawinan dilakukan di rumah lelaki, serta biaya perkawinan semua di tanggung oleh pihak lelaki.
            Ada hal yang ganjil dalam perkawinan di kampung bali, setelah mereka kawin, mereka hanya sah di mata agama tidak dimata hukum, karna akte pernikahan dibuat lain hari, berbeda dengan islam yang apabila melangsungkan pernikahan maka mereka langsung mendapatkan pengakuan dari agama dan pemerintah denga mendapat akte nikah,
            Yang lebih membingungkan akte pernikahan dari catatan sipil belum dikeluarkan namun didalam kartu tanda penduduk (KTP) mereka sudah berstatus kawin, hal yang sangat ganjil kalau qt rasionalkan, mengapa pengakuan dari negara belum ada namun di kartu tanda penduduk (KTP) sudah berstatus kawin.
            Dengan keterlambatan akte pernikahan dan pembuatannya yang lama, terkadang ibu-ibu kampung bali sangat susah untuk memasukkan anak nya kesekolah, karna syarat yang harus ditunjukan untuk mendaftarkan anak kesekolah dia akte perkawinan atau surat nikah, biasanya ketika ingin memasukan anak  mereka kesekolah baru mereka mengurus akte ke kantor catatan sipil, namun itu berlangsung lama.
            Dalam masyarakat hindu kampung bali mereka tidak mengenal perceraian, bagi mereka perceraian merupakan pisahnya sepasang lelaki dan wanita yang telah menikah disebabkan karna salah satu kembali ke sang pencipta, kalaupun ada keluarga yang ingin berpisah maka pihak lelaki harus mengembalikan pihak wanita kepada keluarganya.
            Kalau saya cermati mengapa tidak ada perceraian, lebih kepada tidak adanya status mereka dimata hukum dan pemerintahan, jadi walaupun salah satu menggugat cerai maka itu tidak akan terjadi karna tidak ada akte atau surat nikah yang resmi dikeluarkan pemerintah yang menyatakan kalau mereka resmi menikah.
Hal yang sangat mengherankan mengapa lambatnya surat pernikahan mereka dikeluakan pemerintah padahal di dalam kartu tanda pemduduk (KTP) mereka telah status kawin, jadi pertanyaannya, atas dasar apa pemerintah membuat kartu tanda penduduk (KTP) mereka berstatus kawin , padahal pemerintah belum mengeluarkan akte pernikahan atau surat nikah.



ORGANISASI SOSIAL


Kampung bali memiliki satu oragnisasi sosial yang mereka berinama suka duka, organisasi ini mencangkup ssegala aspek sosial yang ada di kampung bali, suka duka berarti satu hatinya mereka karna disaat senang mereka merasakannya bersama – sama, dan sebaliknya disaat duka mereka juga merasakannya bersama – sama , seperti dalam pribahasa (berat sama di pikul, ringan sama dijinjing).
Salah satu nyata dari organisasi sosial yang mereka bentuk ialah berdirinya pura besar pada tahun 1976, pembangunan pura merupakan suadaya masyarakat hindu bali, tidak ada sepersenpu dari bantuan pemerintah, walaupun telah cukup banyak penjabat – penjabat daerah yang berkunjung namun tidak ada satu pun penjabat yang terbuka hatinya untuk membantu pembiayaan renovasi pura, karna kondisi pura yang telah mulai ditumbuhi lumut.
Organisasi suka duka kampung bali dipimpin oleh “inengah kariadi”, organisasi ini juga mempayungi acara – acara atau kegiatan – kegiatan yang ada di kampung bali, seperti arisan ibu – ibu, arisan ibu – ibu di kampung berbeda dengan arisan ibu – ibu pada umumnya, pada umunya arisan dilakukan di rumah – rumah peserta arisan secara bergantian namun di kampung bali arisan hanya dilakukan dengan mengantar uang sebesar 10 ribu kepada kepala dusun, dan bagi yang mendapaatka arisan maka dia di perboleh kan untuk menyisihkan sebahagian uang nya untuk memperbaiki pura,
            Selain arisan ada juga kegiatan muda  - mudi dikampung bali, yaitu sanggar tari , jumlah muda – mudi di kampung bali berjumlah 27 orang, setiap malm selasa dan malam jumat mereka melakukan latihan tari di rumah pak mangku ( i dewa putu dana ), selain itu pada malam senin muda – mudi hindu bali belajar tentang keagamaan yang di pimpin oleh seorang pandita ( I dewa putu dana), selain belajar keagamaan mereka juga belajar membuat simbol – simbolseperti janur.
            Di kampung bali seorang kepala dusun diangkat tanpa pemilihan, kepala dusun menjabat mengikuti garis keturunan
            Sedangkan pada pemilihan pandita, calon pendita di pilih melalui
1.    Keturunan
2.    Pemilihan
3.    Pewangsitan
4.    Kewangi

sebelum seseorang dipilih menjadi pandita, ia harus memiliki niat yang kuat untuk menjadi pandita dan juga harus hafal tentang keagamaan. Adapun prosesi pemilihan pandita dimuali dengan

1.    Keturunan
Apabila pandita yang lalu memiliki anak lelaki maka dia merupakan calon kuat untuk menjadi pandita, namun apabila dia tidak ada niat, atau tidak tahu banyak tentang agama maka pemilihan di lanjutkan dengan memilih salah satu dari beberapa calon

2.    Pemilihan
Dalam pemilihan pandita hanya lelaki yang boleh memilih, dan setiap lelaki diwajibkan untuk memilih, namun bila saat pemiliha juga tidak di dapatkan maka dilanjutkan dengan pewangsitan.


3.    Pewangsitan
Dalam pewangsitan sesepuh yang ada di kampung bali akan melakukan semedi di pura berharap kepada  I de sang widi aseng (tuhan) memberikan petunjuk siapa yang menjadi pandita, namun bila tidak juga dapat, maka di lakukan prosesi terakhir yaitu kewangin



4.    Kewangin
Kewangin merupakan pemiliha yang menggunakan bungan sebagai alatnya, lebih kepada paktor keberuntungan dengan cara setiap calon pandita menggambil batang yang ada didalm wadah, dan siapa yang mendapatka bunga maka dia lah yang terpilih menjadi pandita.

            Pandita menjabat seumur hidup atau semampu induvidu itu menjadi pandita, pandita kampung bali saat ini ialah pak I dewa putu dana, beliau terpilih karna faktor keturunan.
            Untuk masalah pemilihan umum nasional masyarakat kampung balik menolak untuk masuk kedalam satu partai politik pun, karna mereka menggangkan partai politik tidak ada yang jujur, mereka biasa memilih di desa taypusam dekat kantor desa, saat memilih mereka biasa mengikuti arahan dari kepala desa.



PEWARISAN


            Hukum Hindu dan adat Bali mengikuti sistem Purusha (Patrilineal) sehingga hak waris keluarga berada di tangan pihak laki-laki. Akan tetapi, bersamaan dengan hak tersebut sesungguhnya pihak laki-laki juga memiliki kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan, yakni berkenaan dengan upacara keagamaan yang dilaksanakan di keluarga seperti, upacara di Sanggah/Kemulan (Pura Keluarga), dan upacara keagamaan lainnya.
Jika dalam keluarga itu tidak ada anak laki – laki, maka harta warisan jatuh  kepada anak lelaki dari abang ayah.
Jika abang ayah tidak memiliki anak laki – laki, maka harta warisan jatuh pada anak laki – laki dari adik ayah.
Jika adik ayah juga tidak ada laki – laki maka harta warisan jatuh kepada wanita, namun wanita itu dianggap laki – laki namun berfisik wanita.
Namun  jika seorang lelaki Hindu menikah keluar agama Hindu maka seluruh hak di keluarganya terutama yang berkaitan dengan waris secara otomatis hilang karena
1. yang bersangkutan sudah tidak lagi berstatus Purusha
2. yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam upacara       keagamaan yang dilaksanakan di keluarga, maupun masyarakat

           



KEKERABATAN



            Dalam hindu bali kekerabatan dilihat dari garis laki – laki (patrinial), karna hindu bali menganut aliran patrinial maka apabila seorang pemuda ingin menikahi wanita yang sedarah dengan ayah pemuda itu, maka pemuda itu dilarang untuk menikahi wanita itu, namun sebaliknya klu pemuda itu ingin menikahi wanita yang sedarah dengan ibunya maka diperbolehkan.
            Kekerabatan yang ada dikampung bali masih sama dengan kekerabatan yang ada di bali asli, tidak ada yang beda dengan masyarakat di pulau bali, dari segi pemanggilan masyarakat kampung bali juga sama dengan masyarakat pulau bali
Seperti:

Indonesia                 bali
Kakek             <>        kaki
Nenek                        <>        dadong
Ayah               <>        bapa dibaca bape
Ibu                  <>        memi/meme
Abang                        <>        beli
Kakak             <>        gek/mbok



TELANTARNYA PEMBANGUNAN RUMAH
BAGI KORBAN BANJIR BANDANG DI ACEH TAMIANG

            Kendati banjir bandang yang memporak-porandakan aceh tamiang sudah berlalu 4 tahun yang lalu namun, penanggulangan rumah bagi korban bencana belum juga terselesaikan, masih banyak korban bencana banjir bandang yang masih belum memiliki tempat tinggal, penyebabnya masih banyaknya rumah-rumah yang masih belum selesai atau masih di telantarkan pembangunannya.
            Sampai saat ini masih banyak korban bencana banjir bandang yang masih berada di tempat pengungsian atau barak-barak penampungan, keterbatasan sarana yang dialami masyarakat korban banjir bandang sangatlah menperhatinkan, selain tempat tinggal yang buruk, beberapa fasilitas yang ada di tempat pengungsian juga sangat tidak layak, seperti mck yang tidak terawat, air bersih yang kurang serta pasokan makanan yang minim, membuat banyak masyarakat yang menderita penyakit, seperti diare, penyakit kulit, dll.
            Penyebab telantarnya pembangunan rumah dikarnakan banyaknya rekanan proyek yang tidak menyelesaikan tugas mereka, 22 dari 83 rekanan proyek rehabilitasi dan rekonstruksi rumah tipe 36 menelantarkan pekerjaannya. Hanya pondasinya saja yang dikerjakan oleh rekanan, setelah itu mereka pergi begitu saja tidak menyelesaikan puluhan rumah yang harus dibagun untuk warga korban banjir. Pondasinya pun tidak semua rumah warga korban banjir, tetapi hanya bebrapa unit rumah saja.
            Kondisi ini terjadi karena Pejabat Pengguna Anggaran (PPK) dalam membuat kontrak tidak mengacu pada ketentuan yang berlaku dan memperhatikan  kemanjuan fisik pekerjaan pada tahun 2007. Pimpro Rumah Banjir Dinas PU Aceh Tamiang, Budi Salahudin mengatakan, pihaknya sudah menindak lanjuti dan melaporkan rekanan nakal tersebut ke Polres Aceh Tamiang untuk dilakukan proses hukum.

Sebelum dilaporkan kepada polisi, Budi mengaku pihaknya sudah membuat surat teguran kepada para rekanan agar menyelesaikan pekerjaanya. “Surat teguran I, II dan III sudah kami sampaikan kepada rekanan,” ujarnya dan teguran tersebut ia buat sejak menjabat pimpro.
Data yang diperoleh Serambi dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaaan Keuangan (BPK)  perwakilan Aceh yang dikeluarkan tanggal 2 Februari 2010, disebutkan, pada tahun 2009 Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Aceh Tamiang menganggarkan belanja langsung pada APBD sebesar Rp 72.195.200.115 dengan realisasi sampai Oktober 2009 sebesar Rp 44.040.455.995 setara 61 persen dari anggaran.
Dari realisasi tersebut  sebesar Rp 27.062.926.354 merupakan realisasi untuk program  rekonstruksi penanganan pasca banjir bandang anggaran 2007.  Untuk pekerjaan  lanjutan  proyek rehabilitasi dan rekontruksi rumah tipe 36 penanggulangan  pasca bencana alam  tahap 1 tahun 2007 telah diberhentikan  pelaksanaanya dengan keputusan Bupati  Aceh Tamiang  selaku  kuasa pengguna anggaran No 344 tanggal 21 Desember 2007.
Dari 204 rekanan yang mengerjakan proyek tersebut,  83 rekanan telah mengambil uang muka kerja dengan nilai Rp 12.904.182.000. Sementara dari 83 rekanan tersebut, terdapat 22 rekanan  sampai dilakukan pemeriksaan Desember 2009 tidak melanjutkan pekerjaannya lagi.  Sehingga uang muka yang diberikan senilai Rp 3.741.293.400 berpotensi tidak dikembalikan  dan ditambah denda  keterlambatan  maksimal sebesar 5 persen  dari nilai kontrak,  seluruhnya senilai Rp 623.548.900, sehingga berjumlah Rp 4.364.842.300.
            Hasil pemeriksan dokumen kontrak diketahui pekerjaan lanjutan dituangkan dalam kontrak  lanjutan 2009 untuk menyelesaikan 1.335 unit rumah dengan jumlah rekanan 134 rekanan. Dasar perjanjian dan pelaksanaan pekerjaan lanjutan rehabilitasi serta rekontruksi rumah pasca banjir bandang, keputusan DPRD Aceh Tamiang No 6 tahun 2009,  keputusan bupati nomor 79 tahun 2009 dan keputusan bupati nomor 80 tahun 2009 Kondisi tersebut tidak sesuai dengan  Keppres  nomor 80 tahun 2003.  Sehingga mengakibatkan, kontrak lanjutan  anggaran 2009 untuk penyelesaian rekontruksi rumah tipe 36 tahap I  tahun 2007 tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.
            Dalam penentuan rekanan proyek rehabilitasi dan rekonstruksi rumah banjir, pemerintah tidak terbuka mengenai prekeutan rekanan sehingga masyarakat tidak dapat mengetahui siapa rekanan yang menjalankan proyek rumah banjir .
            Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang masih mempermasalahkan pembangunan rumah banjir bagi korban banjir bandang, menurut.
Kepala Kampong Baleng Karang, Sabar Ali dan Kepala Kampong Suka Makmur, Ali Akbar, banjir bandang terjadi akhir tahun 2006 silam, tetapi hingga kini rumah warga korban banjir tersebut belum juga dibangun oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Aceh Tamiang dan tender pembangunan rumah tersebut sudah berlangsung tahun 2007 silam Malahan, ungkap Datok Penghulu Kampong Baleng Karang, Sabar Ali
      pihaknya sudah berulangkali menanyakan bantuan rumah untuk korban banjir yang jumlahnya ada puluhan untuk warga Baleng Karang kepada Camat Sekerak dan pihak lainnya, namun mereka semuanya terkesan tidak peduli sama sekali terhadap penderitaan warga Baleng Karang. Hanya pondasinya saja yang dikerjakan oleh rekanan, setelah itu mereka pergi begitu saja tidak menyelesaikan puluhan rumah yang harus dibagun untuk warga korban banjir. Pondasinya pun tidak semua rumah warga korban banjir, tetapi hanya bebrapa unit rumah saja ,"ungkap Sabar Ali                               .
Anehnya, sambung Sabar Ali, di sejumlah desa lainnya sejak tahun 2007 yang lalu sudah banyak rumah warga korban banjir bandang yang dibangun, tetapi kenapa di Desa Baleng Karang tidak ada satu unit rumah pun yang selesai dibangun. Kalau memang rekanan tidak mampu atau tidak ada modal untuk membangun rumah, sebaiknya pembangunannya diserahkan saja kepada masyarakat Baleng Karang. Bukan seperti selama ini tender sana dan tender sini, namun pelaksanaan pekerjaan membangun rumah tidak kunjung selesai. Ini benar-benar diskriminatif, karena di desa lain ada yang sudah selesai dibangun," kata Datok Penghulu
Hal senada juga diungkapkan oleh Datok Penghulu Suka Makmur, Kecamatan Sekerak, Ali Akbar kepada, di desanya sedikitnya ada 13 rumah warga korban banjir yang harus dibangun, namun hingga kini juga realisasinya belum ada yang selesai. Kedua Datok Penghulu itu juga menyatakan mereka akan melaporkan persoalan pembangunan rumah yang belum selesai dikerjakan oleh rekanan kepada Bupati Aceh Tamiang untuk ditindak lanjuti agar pembangunan rumah bisa segera diselesaikan secepatnya.
Sejumlah staf yang berkompeten menangani proyek pembangunan rumah bagi korban banjir bandang 2006 yang bertugas di Dinas PU Kabupaten Aceh Tamiang tidak bersedia memberikan keterangan seputar tidak selesainya pekerjaan pembangunan rumah di Desa Baleng Karang dan Suka Makmur, "Kami tidak tahu siapa kontraktornya yang tidak selesai mengerjakan pembangunan rumah itu. Begitu juga alamat kontraktornya juga kami tidak tahu dimana. Sebaiknya soal rumah korban banjir yang belum selesai dibangun tidak usah diberitakan saja," kata staf di Dinas PU Kabupaten Aceh Tamiang itu
Nanti coba kami konsultasikan terlebih dahulu dengan Bupati Aceh Tamiang, setelah itu barulah kami memberikan penjelasannya kenapa rumah warga korban banjir bandang di Desa Baleng Karang dan Suka Makmur belum dibangun juga oleh kontraktornya," imbuh staf tersebut
Bupati Aceh Tamiang, Drs.H. Abdul Latief mengaku sudah mendapat informasi tentang belum selesainya dibangun rumah bagi warga korban banjir di Desa Baleng Karang dan Suka Makmur itu. “Coba tanyakan saja ke Dinas PU karena mereka yang lebih mengetahuinya," saran Latief
.Ka. Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Aceh Tamiang, Subagio,S ketika dikonfirmasi menyatakan menyangkut pembangunan rumah bagi warga korban banjir bandang 2006 di Desa Baleng Karang dan Suka Makmur itu nanti dirinya akan mengecek apakah benar rumah bagi warga korban banjir disana sudah dibangun atau belum. “Nanti akan saya cek ulang tentang soal pembangunan rumah di desa itu," tegas Subagio.